Berita

Publikasi - Berita

Menjadi Fasilitator Sekolah Penggerak di Kalimantan Tengah: Melewati Sungai Beriam atau Berbuaya, dan Tanah Berair

Menjadi Fasilitator Sekolah Penggerak (FSP) Program Sekolah Penggerak (PSP) memang bukanlah kewajiban. Hanya sekadar tugas tambahan, yang didasari jiwa kesukarelawanan. Namun, peran FSP dalam pendampingan Sekolah PSP tidak dapat diremehkan—justru menjadi ujung tombak dalam pengembangan hasil belajar secara holistik kepada anak didik.

Program Sekolah Penggerak memungkinkan seluruh sekolah untuk menjadi penggerak bagi sekolah-sekolah di wilayahnya, baik yang di tengah kota, maupun di hulu dan hilir sungai di Kalimantan Tengah. Siapa yang pernah menyangka, jika sekolah yang berada di ujung kebun sawit menjadi wadah pembelajaran bagi sekolah-sekolah di sekitarnya, atau bahkan sekolah-sekolah yang lokasinya harus melewati sungai beriam, atau berbuaya. Selama ada tekad dan kemauan, tidak ada yang mustahil, dan seluruh pemangku kepentingan di daerah, juga turut mendukung program yang dirilis langsung oleh Kemendikbudristek RI ini.

Kembali pada bahasan awal, bahwa sejatinya para FSP pun diseleksi melalui proses yang cukup ketat dan panjang, menimbang bahwa akan ada banyak amanah dan tanggung jawab yang akan diemban untuk mendampingi sekolah-sekolah yang terpilih. Pendampingan tersebut tak hanya secara dalam jaringan (daring), tetapi juga luar jaringan (luring) yang tentunya, medan menuju lokasi sekolah binaan juga menantang. Tak jarang, ada beberapa FSP yang bahkan butuh waktu hingga 3 hari lamanya untuk melakukan Kunjungan Lapangan yang hanya berlangsung selama 3 JP (1 JP = 45 menit). Untuk saat ini saja—Angkatan 1 dan 2, waktu tempuh ke kabupaten terdekat membutuhkan waktu sekitar 4 jam lamanya. Itu pun baru tiba di ibukota kabupaten, belum menuju ke sekolah binaan yang menyita waktu perjalanan lebih lama lagi.

Dengan rerata usia 40-an dari berbagai kalangan (akademisi, dinas, UPT, dan pensiunan), para FSP ini tersebar ke 7 kabupaten/kota terpilih Program Sekolah Penggerak. Ada sekolah yang berlokasi dekat dengan domisili para FSP, ada pula yang harus menempuh perjalanan berjam-jam, bahkan jalur darat dan air. Belum lagi jika kondisi jalan sedang rusak, para FSP pun harus rela mengantri, hingga akhirnya terpaksa mencari penginapan terdekat.

      

Tidak hanya pengorbanan para FSP yang patut diacungi jempol, tetapi juga peran sekolah dampingan yang tak kalah semangat dalam mendukung dan mengimplementasikan Program Sekolah Penggerak di satuan pendidikan masing-masing. Tak jarang, beberapa sekolah bahkan rela merogoh kocek untuk pengantar-jemputan para FSP karena medan tempuh yang ekstrem.

“Saya ni, Mbak.. Pakaian atas aja yang bagus. Coba lihat sepatu dan ujung celana saya, penuh bekas licak* ini.” Tutur Pak Jonro—salah satu FSP, ketika kami sedang rehat di sela-sela kegiatan Lokakarya Pengawas di Kabupaten Kotawaringin Barat Oktober 2022 lalu. Hal tersebut bukan bualan semata, dan tak hanya satu-dua FSP yang bertugas di lapangan dengan kondisi demikian. Pak Saharuddin pun, FSP untuk jenjang SMP di Kabupaten Murung Raya harus menempuh jalur darat dan air, melewati sungai beriam deras untuk menuju Kecamatan Tumbang Kunyi. Ada juga Ibu Aty, yang bahkan sesekali harus berjalan kaki karena kondisi jalan yang sulit dilewati kendaraan roda empat biasa, atau bahkan Ibu Puji Ika Rahayu, yang harus melalui jalan berlumpur dan mengikuti lintasan bekas ban truk besar perusahaan karena sekolah yang beliau bina di bawah naungan suatu yayasan perusahaan sawit. 

   

Tak hanya kegiatan-kegiatan yang bersifat kunjungan lapangan atau luring yang penuh tantangan, tetapi juga pendampingan yang dilakukan secara dalam jaringan (daring), khususnya untuk Pokja Manajemen Operasional (PMO) Level Sekolah. Selain para FSP yang harus mengatur jadwal kerja dengan sekolah dampingannya, ‘mencari sinyal’ adalah hal klasik yang selalu menjadi tantangan pendampingan setiap bulan. Mungkin jika mengutip salah satu obrolan dengan Pak Jainudin, “sinyalnya telindung* pohon kelapa”. Ada yang baru mendapat koneksi pada malam hari, ada juga yang hanya mendapat sinyal di satu sekolah, sehingga sekolah lain pun menumpang dan menggunakan satu perangkat untuk melakukan PMO bersama FSP. Bahkan, terkadang harus menunggu beberapa hari lagi agar mendapat koneksi yang maksimal antara FSP dan sekolah dampingannya.



Dalam artikel singkat ini, tak dapat kami sebutkan satu-persatu nama FSP yang telah bekerja begitu keras mendampingi para sekolah PSP, yang diharapkan dapat menjadi motor penggerak untuk sekolah-sekolah lain di sekitarnya. Cerita singkat ini pun hanya sedikit gambaran perjuangan para FSP PSP di Provinsi Kalimantan Tengah, yang tentunya tak kalah semangat dengan para sekolah binaan untuk memajukan satuan pendidikannya. Semangat Merdeka Belajar, akan anak tabela itah pahari*!

*:
- Licak: Lumpur, becek
- Telindung: Terhalang
- Akan anak tabela itah pahari: Untuk generasi muda kita semua



0 Komentar